Sejak Rancangan Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik digodok di DPR, saya sudah mengingatkan bahayanya atas keberadaan Pasal 27 ayat 3. Bagi saya, itu hanya pasal susupan dari sebuah rezim yang ketakutan, sehingga perlu menambah bobot ancaman atas Pasal 310 dan 311 KUHP yang masih langgeng hingga kini. Namun, di luar itu, kalau bertanya pada hati nurani masing-masing, saya yakin mencemarkan nama baik orang (lain) itu tidak baik dan tidak dibenarkan, baik dalam norma sosial maupun agama (apapun).
Jujur, saya bukan hanya tidak setuju penerapan Pasal 27 ayat 3 itu untuk kasus Benny Handoko, namun untuk juga kasus-kasus serupa lainnya. Hanya saja, kalau menyimak pokok perkara Benny Handoko lewat akun Twitter-nya @benhan yang dipersoalkan oleh Misbakhun, saya memilih untuk berusaha jernih memilah. Jika menyimak susunan kalimat yang dibuat dan diunggah oleh Benhan, saya lebih cenderung mengatakan Benhan salah!
Maaf, Anda boleh berbeda pendapat dengan saya. Menurut saya, apa yang disampaikan Benhan adalah tuduhan, yang tentu saja sah jika oleh yang ‘dituduh’ pun lantas disikapi secara serius. Pendapat ini sekaligus saya tujukan untuk Damar Juniarto alias Amang, orang yang saya kenal baik, yang kini aktif bergelut di Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet). Saya ingin menanggapi tulisan yang diunggah di blog pribadinya.
Saya setuju, Pasal 27 ayat 3 dicoret dari UU ITE. Ia memang mengancam kebebasan warga negara menyampaikan pendapatnya, sehingga pada gilirannya bisa mematikan kontrol publik terhadap proses penyelenggaraan negara/pemerintahan. Sungguh menyedihkan, agenda revisi yang katanya sudah disiapkan pemerintah via Kementerian Kominfo, tidak ada dalam program legislasi nasional (Prolegnas) DPR RI pada 2014. Artinya, sebagai hukum positif, pasal itu memang berlaku mengikat.
Adalah tanggung jawab seluruh warga negara untuk memperjuangkan pencoretan pasal tersebut. Banyak cara bisa ditempuh. Tak hanya lewat seruan dan unjuk rasa, namun lewat kampanye dan pendidikan publik yang massif dan konsisten hingga melakukan advokasi di level pelaku perubahan, di antaranya lewat pemberian masukan dan lobi di pemerintahan dan DPR.
Terbuka saya sampaikan di sini, terlalu berlebihan pernyataan Benhan bahwa vonis terhadap dirinya adalah sinyal kematian demokrasi di negeri ini. Pernyataan Benhan di Twitter tak berkorelasi langsung dengan demokrasi. Lain halnya jika Misbakhun yang ‘dituduhnya’ berstatus sebagai penyelenggara negara, yang tidak mudah berkelit dari kritik publik sebagai manifestasi kontrol kebijakan.
Saya juga kurang bersemangat berpihak kepada teman-teman, termasuk yang di Safenet, menggeser persoalan Benhan vs Misbakhun ke ranah ‘kebebasan berekspresi atau kebebasan berpendapat’ yang dijamin konstitusi dan deklarasi universal hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-bangsa. Kasus Benhan, bagi saya, justru patut dijadikan materi kampanye, supaya seseorang meski kebebasannya dijamin konstitusi, namun harus bijak dan mampu membedakan, mana pendapat sebagai kritik/kontrol dan mana yang merupakan tuduhan.
Soal ‘nama baik’, kita semua tahu, itu debatable. Seorang penjahat, koruptor, dan pelaku kriminal lainnya bisa saja mengaku masih punya nama baik meski yang dilakukannya tak terpuji, meski tak seorang pun mengakuinya. Di persidangan, kelihaian menyusun kalimat bisa mengalahkan kebenaran substansial. Hukum bisa berbelok karena kepiawaian merangkai kata, baik oleh pengacara, jaksa maupun hakim.
Kepada teman-teman Safenet, saya berulang kali menyampaikan ketidaksetujuan atas penentuan perkara Benhan-Misbakhun sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Sebaliknya, saya justru mengajak teman-teman cermat memperhatikan kasus di Makassar, dimana status BlackBerry Messenger seorang aktivis berbuntut gugatan pidana dengan menggunakan Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Memang, substansi kalimat dalam status BlackBerry Messenger, mirip dengan kalimat Benhan, yakni bernuansa tuduhan. Namun, menyoal medium dan sifat mediumnya, yakni BBM, justru akan memberi pencerahan kepada publik karena peristiwa itu akan memunculkan jurisprudensi atau acuan hukum baru.
BlackBerry Messenger (BBM) punya sifat tertutup, seperti halnya surat elektronik (email) yang pernah memakan korban bernama Prita Mulyasari. BlackBerry Messenger hanya bisa dibaca oleh mereka yang sudah saling menyimpan nomor identitas (berupa personal identity number/PIN), dan untuk terhubung satu dengan lainnya memerlukan proses persetujuan atau approval. Ada proses permintaan terhubung dan mitra komunikasi punya opsi accept (menerima/menyetujui) dan decline (menolak).
Hal ini penting, namun banyak diabaikan kebanyakan teman pelaku/pengguna dan aktivis Internet. Semoga, kelak tidak terjadi lagi, sebuah praktik pembelaan yang kurang pas dan tepat. Suka tak suka, pasal 27 ayat 3 telanjur ada dan masih berlaku. Masih ada kesempatan untuk menekan pemerintah dan DPR, di antaranya menuntut partai politik menyatakan sikapnya terhadap pasal tersebut.
Jika partai politik menganggap penting sebuah pasal antidemokrasi, ya kita masih punya hak untuk tidak memilih caleg-caleg antidemokrasi dalam pemilihan umum kelak. Masyarakat pun bisa diajak serta. Jika terdapat sangat banyak orang tidak memilih mereka, saya yakin, partai politik dan pemerintah akan menyerah. Simpel? Tidak juga, sih…..
Update: 10/2/2014 pukul 17.33 WIB
Meski berharap muncul tanggapan di lembar postingan ini, rupanya banyak orang lebih suka berkomentar di Twitter, termasuk dari Benny Handoko.
@lyndaibrahim @blontankpoer @arijuliano tidak setuju. Ada di pembelaan kami: Yang saya lakukan bukan tuduhan.
— benhan (@benhan) February 10, 2014
@benhan @lyndaibrahim @blontankpoer @arijuliano yg bukan tuduhan, namun bersifat penghinaan, diatur juga kok. 315 kuhp. — Arsil Kurus (@LisraSukur) February 10, 2014
@benhan aku memahami kalimat dan menyimpulkan makna. menurutku, itu bisa ditafsir sebagai kalimat ‘tuduhan’ | @lyndaibrahim @arijuliano
— Blontank Poer™ (@blontankpoer) February 10, 2014
Padahal, jika ada tanggapan di sini, maka akan menambah kaya referensi pembaca, termasuk saya sebagai penulis. Yang jelas, dari respon beberapa akun Twitter, termasuk @benhan, @ngabdul dan lain-lain menjelaskan bahwa penerapan pasal 27 ayat 3 UU ITE tidak tepat.
OK, saya sepakat pemilihan pasal itu tidak tepat. Maksudnya, saya memahami posisi Benny Handoko sebagai pihak tergugat. Namun, dari sisi pelapor/penggugat, sah juga memilih pasal sangkaan/tuduhan demi ‘kemenangan’ dalam beperkara.
Menanggapi respon Benhan bahwa ada ‘konteks di setiap tindakan’ dan ada ‘kisah awal’ di timeline-nya ketika itu, saya tetap pada pendapat: twit bersambung akan bisa dilihat dari sistem penomoran atau pemberian tanda tertentu, bahwa twit dimaksud tidak ‘berdiri sendiri’. Di situlah, menurut saya, letak ‘kelemahan’ Benhan. Tak ada alibi yang kuat untuk menyatakan twit yang jadi pokok sengketa ‘harus dipahami’ dengan cara melihat beberapa twit sebelumnya.
Dalam kasus tersebut, bagi saya, paling mudah dengan menganalogikan dengan tindakan sebagai berikut: Saya mengatakan, “Sam Ardi jahat, memerkosa perempuan berusia 70 tahun di kosnya di Semarang” di tengah Pasar Johar. Atas tindakan saya itu, lalu Sam Ardi melaporkan saya ke kepolisian dengan tuduhan bla-bla-bla. Sam Ardi pasti juga akan memilih pasal yang menguntungkan dirinya demi memenjarakan saya. Begitu pun dalam kasus Benhan vs Misbakhun itu. Perkara Misbakhun memilih pasal di UU ITE, itu hak dia juga. Dan, hak Benhan (juga siapapun) untuk menolak penggunaan pasal itu. Tapi, pengadilan tetap pengadilan. Suka tak suka, pasal dimaksud masih eksis, ada, dan berlaku mengikat. Wajar orang beperkara akan memanfaatkan setiap celah.
Soal ada ‘orang baik dan tidak baik’ untuk membedakan pilihan menggunakan pasal 27 ayat 3 UU ITE untuk ‘persoalan’ yang menimpa seseorang, saya kira itu lain soal, seperti dimaksud Mas Abdul Rahman. SMI (jika itu yang dimaksud adalah Sri Mulyani Indrawati) tentu beda dengan Misbakhun.
Tapi, menarik juga ‘diskusi’ di Twitter soal sikap saya terkait kasus Benhan. Gak papa. Malah menambah kaya referensi bagi saya, sehingga perlu saya tuliskan di sini sebagai tambahan (update) tulisan. Hanya, ada satu yang menarik dicermati dari twit Mas Dul yang dibuat secara no mention. Katanya, “mengaku pembela kebebasan berbicara tapi menerapkannya selektif. ketika yang kena masalah ideologinya berseberangan, tak dibela..”. Sepertinya, itu bukan disenggolkan ke saya, wong Mas Dul tahu, saya bukan berada di barisan ‘pembela kebebasan berbicara’ apalagi ‘ideologinya berseberangan’. Hehehehe…
Saya, ya begini ini. Crigis, ngawur. Mungkin juga layak digugat dan diadukan karena suka bicara asal-asalan. Hehehe….
@benhan @lyndaibrahim @blontankpoer @arijuliano banyak yg dituduh tanpa bukti. Toh mereka tak lantas membalas dg UU ITE. SMI misalnya
— abdul (@ngabdul) February 10, 2014
mengaku pembela kebebasan berbicara tapi menerapkannya selektif. ketika yg kena masalah ideologinya berseberangan, tak dibela..
— abdul (@ngabdul) February 10, 2014