Jika kita punya beberapa orang dermawan yang mau memperhatikan dunia olahraga, Indonesia pasti kian terkenal di dunia. Kita juga tak akan pernah mendengar bekas petinju jadi penjaga klab malam, atau mantan atlet menjual emas medalinya untuk makan atau perpanjangan rumah kontrakan. Bulutangkis yang pernah berjaya hingga 1990an pun kian meredup.
Jika banyak atlet dengan anggauta badan lengkap sempurna saja begitu mengenaskan pada masa tuanya, bisa ditebak bagaimana nasib atlet yang berkebutuhan khusus lantaran kekurangan oleh aneka sebab? Membandingkan atlet paralympic dengan mereka yang tak punya kendala fisik memang seperti melihat langit dan bumi.

Dt. Zaenal Abidin, salah satu tokoh penting pembinaan tenis kursi roda Malaysia. Ia yang memobilisasi dana untuk pembinaan atlet. Sejumlah atlet dan pelatih Indonesia pernah diundangnya untuk melatih atlet-atlet Malaysia, juga mengajaknya keliling beberapa negara atas tanggungan biaya olehnya. Pak Yasin Osmani menjadi orang Indonesia yang kerap diajaknya ke beberapa lawatan olahraga dunia, termasuk tinggal di rumahnya di London. Indonesia butuh orang seperti dia.
Negara (dan penyelenggara pemerintahan) sudah seharusnya memberi perhatian lebih kepada kaum difabel (atau penyadang disabilitas. Terserah, Anda lebih nyaman menggunakan istilah yang mana). Ibaratnya, mereka yang tak memiliki kendala mobilitas akan lebih mudah mengakses banyak hal untuk keperluan hidup kesehariannya. Merancang masa depan, pun pasti tak sesulit saudara-saudara kita yang terkendala fisiknya.
Sepekan menyaksikan dan mengikuti sejumlah cabang olahraga yang dipertandingkan pada ASEAN Paragames 2011, saya kian cemas terhadap atlet-atlet kita. Bonus yang timpang bagi atlet Paragames yang memperoleh medali emas karena ‘cuma’ seperempat jumlah yang diterima atlet-atlet SEA Games Palembang/Jakarta, memang jadi catatan tersendiri buat saya.
Sama-sama mengharumkan nama bangsa, benderanya juga sama-sama dikibarkan penuh setinggi tiang dengan iringan lagu kebangsaan Indonesia Raya, kenapa bonusnya beda?
Saya teringat kata-kata Mas Inung, seorang jurnalis radio yang juga seorang difabel. Atlet, artis, seniman, atau orang-orang berprestasi di bidang sains, teknologi dan bidang apapun, sepanjang mengharumkan nama bangsa, seharusnya diperlakukan sama, tanpa membedakan ciri-ciri lahiriahnya. Yang ‘sempurna’ dengan yang (maaf) cacat, semua memiliki kontribusi yang sama, sehingga mereka berhak mendapat penghargaan yang sama.
Ada satu hal penting yang saya catat dari obrolan singkat di tepi lapangan tenis Manahan seusai pertandingan tenis kursi roda, Minggu (18/12) siang, bahwa mereka-mereka itu (termasuk para atlet paragames) adalah aset bangsa. Oleh karenanya, negara berkewajiban merawat mereka, agar prestasinya kian moncer dan memberi insiprasi dan motivasi bagi yang lain.
Nilai-nilai bela negara (dan bangsa) menjadi penting ditanamkan, baik kepada para atlet maupun seluruh komponen bangsa, terutama para penyelenggara negara. Cara pandang mengenai kecacatan harus dihilangkan, sehingga aneka bentuk diskriminasi sirna dari Indonesia.

Saya menyaksikan sendiri, Pak Simon Sirait minta tolong seorang liaison officer untuk membawa raket tenisnya ke tukang pasang senar. senar raketnya putus saat bertanding, sehingga ia meminjam raket cadangan pasangan mainnya, Pak Ahmad Ade. Sesuatu yang tak seharusnya boleh terjadi di tengah pertandingan.
Sedih jika saya mendengar bagaimana atlet-atlet tenis kursi roda Thailand bisa melanglang buana ikut turnamen ini-itu dengan kemudahan fasilitas penerbangan dari Thai Airways, dan semua biaya muhibahnya bisa di-reimburse ke pemerintahnya, entah kalah atau menang. Itu insentif yang luar biasa bagi atlet-atlet difabel, sehingga wajar mereka bisa sangat percaya diri di lapangan.
Begitu pun Malaysia. Dato Zaenal Abidin, adik ipar mantan Perdana Menteri Mahathir Mohamad, mau tampil menjadi pembina sekaligus promotor atlet-atlet tenis kursi roda. Ia bisa memobilisasi dana lewat donasi atau sponsorship perusahaan-perusahaan di Malaysia sehingga menopang prestasi atlet-atlet difabel.
Pemerintah Indonesia yang memiliki saham utama Garuda Indonesia, mestinya bisa menjadi fasilitator, agar perusahaan penerbangan itu mau menjadi sponsor. Australia Open, Japan Open, Taiwan Open dan Thailand Open masih memungkinkan menjadi ajang turnamen untuk mematangkan kemampuan dan reputasi atlet-atlet kita. Toh, menurut Yasin Osmani, manajer tenis kursi roda kita, saingan terberat di ASEAN ‘hanya’ Thailand.
Toh, kalau dihitung-hitung, hampir tak mungkin semua seat pada penerbangan Garuda Indonesia ke kota-kota di negara yang saya sebut di atas penuh terisi. Artinya, bisa memanfaatkan kursi kosongnya, toh biaya pokok untuk bahan bakar, sewa landasan serta transit dan parkirnya sama saja. Bahkan, untuk akomodasi atletnya pun bisa menggunakan jaringan hotel yang biasanya menjadi langganan awak Garuda Indonesia.

Kursi roda untuk tenis lapangan ini buatan China. Harganya cuma Rp 15 juta. Jauh lebih murah dibanding kursi roda serupa bikinan Jepang.
Di luar itu, memang masih ada kendala peralatan. Raket dan bola, anggap saja menjadi tanggungan atlet. Tapi mengenai kursi roda yang berkwalitas memadai, sebaiknya disediakan oleh negara. Bisa dihibahkan kepada atlet, namun bisa juga tetap dikelola negara atau organisasi induk olahraga difabel seperti National Paralympic Committee (NPC), di mana jika atlet meminjam jika hendak bertanding.
Sebut saja, andai Kementerian Pemuda dan Olahraga membeli 10 kursi roda berkwalitas sedang. Buatan China mulai Rp 15 juta, sedang yang bagus bikinan Jepang dari harga Rp 50 juta hingga Rp 100 jutaan. Begitu pun untuk cabang atletik, yang kursi roda untuk sprint berharga relatif sama dengan kursi roda untuk tenis. Andai total punya 20 kursi roda untuk atletik, tenis meja dan tenis lapangan, toh maksimalnya hanya Rp 2 milyar. Angka yang tak seberapa besar, apalagi jika membandingkan dengan jumlah uang menguap yang diduga ditilap Nazaruddin.
Intinya, Menteri Pemuda dan Olahraga masih bisa mengupayakan gathering, mengundang pengusaha dan orang kaya untuk diajak dermawan. Juga, bisa mendorong BUMN-BUMN yang gemilang mencetak laba, untuk mengalokasikan sebagian dananya untuk menghidupkan olahraga. Dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang tak kecil, misalnya, bisa jadi salah satu sasarannya. Pola anak angkat perusahaan juga menarik dipertimbangkan.

Maskapai penerbangan milik pemerintah ini mestinya bisa menjadi salah satu sponsor penerbangan gratis untuk atlet-atlet paralympic Indonesia untuk lawatan-lawatannya, baik domestik maupun internasional.
Negara, melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga bisa lebih proaktif memperjuangkan dana pembinaan, baik lewat anggaran negara (APBN) maupun melakukan mobilisasi dadi sektor usaha, baik swasta maupun BUMN. Dengan begitu, kejayaan Indonesia bisa dirasakan bersama seluruh bangsa Indonesia melalui cabang olahraga, termasuk para penyandang difabilitas (atau disabilitas).
Para dermawan, bangkitlah memajukan Indonesia lewat olahraga. Bela negara dan bangsa bisa dilakukan dengan pola sedekah, entah lewat dana CSR maupun biaya promosi dan kehumasan….