Saya sedih menyaksikan tayangan ProvocativeProactive di Metro TV, Kamis (11/8). Saya bisa mengapresiasi semangat Pandji dan kawan-kawan ingin membuat Indonesia lebih baik dengan ‘cara anak muda’. Tapi, membawa foto Marzuki Alie ke panggung utama lantas dipertontonkan adegan Raditya Dika melakban ‘mulut’ Ketua DPR, itu sungguh tak etis.
Jujur, awalnya saya mendukung tayangan tersebut. Saya sempat menyukainya karena berharap ‘anak-anak gaul’ yang selama ini saya persepsikan cengeng, hanya suka hura-hura dan semacamnya, ternyata bisa kritis, dengan gaya dan caranya sendiri. Ini menarik, pikir saya saat itu.
Di tengah maraknya sinetron-sinetron penuh kepalsuan, yang memandang dunia secara hitam-putih, saya berpikir ProvocativeProactive di Metro TV bisa memprovokasi stasiun-stasiun televisi lainnya berlomba membuat tayangan bermutu, cerdas, dan menarik. Sekali, dua, tiga, empat kali menyimak, saya mulai bosan.
Bahkan, saya sempat berprasangka Pandji hanya menyukai ‘bahasa positif’ dengan bumbu-bumbu sok-sok kritis. Mirip dengan prasangka saya terhadap AA Gym dulu, yang karena melihat hal serba positif dan enggan menyebut yang negatif sebagai pembanding, lantas menggeneralisir dan menganggap ringan sebuah persoalan.
Aa Gym misalnya, hampir selalu menyelipkan pesan ‘lupakan (keburukan) masa lalu, kita songsong masa depan lebih baik’. Ketika itu, almarhum KH Zainuddin MZ surut pamor (dan kurang disukai rezim Orde Baru), situasi reformasi dan politik kacau balau, segera terdongkraklah pamor Aa Gym yang serba santun, halus tutur katanya. Dan, sampai detik ini pun saya masih berprasangka, ajakan melupakan masa lalu bisa menguntungkan siapa saja, terutama individu dan lembaga, yang terkait dengan praktek otoritarianisme Orde Baru.
Walau agak berbeda ukuran penilaiannya, ProvocativeProactive pun saya anggap terlalu naif. Banyak narasumber yang ‘kurang pantas’ karena masa lalunya yang tidak properubahan dan prodemokrasi, justru dihadirkan dan dikasih panggung. Pertanyaan-pertanyaannya pun nyaris tak kritis, sehingga mudah disetir si narasumber.
ProvocativeProactive lantas menjadi seperti koran kuning atau tontonan infotainmen, yang mengutamakan sensasi (isu dan tokoh) dibanding substansi yang ditawarkan. Mestinya, ProvocativeProactive bisa belajar pada Mata Najwa, yang walau temanya tak hangat atau sedang dibicarakan banyak orang, namun mampu memberikan tawaran wacana yang mencerahkan.
Mengolok-olok Menteri Komunikasi dan Informatika dengan cara menghadirkan seseorang yang mengenakan topeng Tifatul Sembiring, lalu menganugerahinya dengan predikat narasumber yang tak pernah mau memenuhi undangan ProvocativeProactive, pun tak ada asik-asiknya. Adalah hak Sang Menteri untuk merespon positif atau negatif sebuah undangan. Ajakan untuk teriakkan “blokir..blokir…blokir…” kepada ‘Tifatul’ saat turun dari panggung utama, pun tak mendidik.
Saya kira, Komisi Penyiaran Indonesia perlu mempertimbangkan untuk menegur penanggung jawab Metro TV. Saluran frekwensi milik publik, telah dipergunakan secara semena-mena, untuk menghakimi seseorang. Sehebat dan sepopuler apapun ProvocativeProactive dan Metro TV di benak khalayak pemirsa, tetap tak pantas jika mempertontonkan tindakan kekanak-kanakan demikian.
Saya justru melihat ada arogansi yang ditunjukkan secara terang-terangan oleh Pandji, Raditya Dika, dan kawan-kawannya itu. Mereka salah menyikapi media sehingga begitu enteng memanipulasi media massa untuk kepentingannya sendiri, termasuk ‘mengadvokasi’ kekecewaan mereka, lantaran gagal mendatangkan narasumber yang diinginkannya.
Tak semua orang harus turun ke jalan, berdemonstrasi melawan ketidakadilan. Setiap orang berhak menentukan pilihan dan caranya merespon keadaan.
Andai mau adil, akankah ProvocativeProactive mewawancarai Surya Paloh yang memanfaatkan Metro TV untuk selalu memberi durasi sangat panjang kepada Nasional Demokrat, Surya Paloh dan Partai Nasional Demokrat? Ingat, frekwensi yang digunakan Metro TV itu milik publik, bukan kepunyaan moyang satu-dua orang saja.
Kalau boleh usul, saya berharap ProvocativeProactive coba bikin tema, ke mana sumbangan pemirsa dan pembaca koran untuk korban bencana, bagaimana mekanisme penyalurannya, dan cara mempertanggungjawabkan secara transparan kepada publik yang menyumbangnya. Juga, kenapa sumbangan pemirsa, pembaca dan pendengar, selalu berubah nama penyumbangnya saat di lokasi penyaluran.
Kalau itu terwujud, barulah saya angkat jempol jika Pandji menyuarakan: nasional is me! Only you, bukan yang lain, not the other(s)!
Jangan salah paham, dalam banyak hal saya tak suka dengan Pak Marzuki Alie dan Pak Tifatul Sembiring. Anda bisa cari di arsip kicauan saya terhadap keduanya. Tapi saya sangat menolak cara-cara melecehkan orang dengan cara berlebihan.
Masih banyak pilihan dan cara untuk mengolok-olok kedunguan.